Fakta suku primitif Sentinel yang berbahaya
Suku Sentinel merupakan salah satu suku primitif di dunia yang masih mempertahankan keprimitifannya atau tradisinya. Bahkan suku yang mendiami Pulau Sentinel Utara di Teluk Benggala, India ini enggan berkomunikasi dengan dunia luar sehingga mereka benar-benar terisolasi.
Apalagi letak Pulau Sentinel Utara yang jauh dari daratan negara induknya yaitu India, membuat pulau ini sulit untuk disinggahi.
Pulau Sentinel Utara
Menurut peta dunia, Pulau Sentinel Utara merupakan pulau yang termasuk ke dalam gugusan Kepulauan Andaman, wilayah Kepulauan Andaman dan Nikobar.
Walaupun letaknya berdekatan dengan Myanmar, dan bahkan Indonesia (Aceh Utara), tapi wilayah Kepulauan Andaman dan Nikobar masuk ke dalam teritori India berdasarkan sejarah perang Kepulauan tersebut.
Tak hanya jauh dari India, Pulau Sentinel Utara pun cukup jauh dari daratan lainnya yang dihuni manusia di gugusan Kepulauan Andaman yaitu Pulau Andaman Besar.
Wilayahnya yang kecil dan sebagian besar diliputi oleh hutan mungkin membuat orang lain enggan mengunjunginya, terlebih lagi suku Sentinel yang mendiami pulau pun memiliki sifat sensitif terhadap orang luar dan tampak seperti memusuhi.
Suku Sentinel di Pulau Sentinel Utara
Sehingga dengan kondisinya yang seperti itu, maka hingga saat ini pun mereka masih menjalankan tradisi adat, seperti dalam hal berpakaian, mereka hanya menggunakan dedaunan pada bagian bawahnya saja, mencari makan dengan cara berburu dengan menggunakan tombak dan panah sebagai senjata, baik untuk berburu maupun melindungi diri, rumah tempat tinggal mereka bahkan tidak diketahui, selain itu mereka juga memiliki bahasa sendiri yang tidak sama dengan bahasa nasional India ataupun bahasa lainnya.
Di sini akan diuraikan beberapa fakta yang berhasil dirangkum mengenai suku Sentinel yang berbahaya ini berdasarkan informasi dari sumber yang sangat terpercaya yaitu National Geographic.
Kisah suku Sentinel dan orang luar
Pemerintah India, pernah berusaha melakukan kontak dengan suku Sentinel, tapi upaya itu berakhir dengan tembakan proyektil yang berasal dari busur panah yang dilakukan oleh suku Sentinel dari pinggir pantai.
Bahkan pada tahun 1970, salah satu tim dokumenter dari National Geographic pun mendapat luka dari tembakan tombak ketika melakukan pengambilan gambar di sana.
Kisah yang lebih parah mengenai berbahayanya suku Sentinel adalah kisah mengenai John Allen Chau, yang diduga sebagai misionaris asal Amerika Serikat yang memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Kristen kepada suku-suku terpencil, tewas di tangan suku Sentinel di Pulau Sentinel Utara.
Walaupun pihak kepolisian India menegaskan bahwa John bukanlah seorang misionaris, melainkan hanya turis asing biasa yang gemar mengungkapkan pandangannya mengenai agama, yang mana akhirnya diketahui bahwa John pernah beberapa kali mengunjungi Pulau Sentinel Utara sebelumnya.
Kisah tragis John dengan suku Sentinel
Menjelang hari terakhirnya melalui surat yang dikirimkan kepada orang tuanya, John sempat menjelaskan hal-hal apa saja yang terjadi di hari-hari terakhirnya di Pulau Sentinel Utara.
Dia mengatakan bahwa saat itu dia mencoba memberikan kado, akan tetapi seorang anak laki-laki kemudian menembakkan panah ke tubuhnya, John mengekspresikan rasa takut, frustasi, dan sesekali diselingi humor.
John datang ke Pulau Sentinel Utara secara ilegal, karena pulau tersebut dibatasi agar tidak sembarangan dikunjungi, akan tetapi John nekat dengan cara memberi uang kepada para nelayan agar mereka bersedia mengantarkannya ke Pulau Sentinel Utara, John pun mulai berangkat bersama mereka dari Pelabuhan Blair menuju ke Pulau Andaman di tengah kegelapan.
Kemudian, para nelayan yang mengantarnya, menolak mendarat di daratan Pulau Sentinel Utara, sebab nelayan terakhir yang secara tidak sengaja terdampar di sana pada tahun 2006, dibunuh oleh suku Sentinel.
John semakin nekat dan memutuskan untuk melompat ke arah kayak dan mengayuhnya sendiri.
Dalam suratnya, John menulis :
"Dua anggota suku Sentinel bersenjata, datang menghampiriku sambil berteriak, masing-masing dari mereka mempunyai dua anak panah, aku pun berteriak: 'Namaku John. Aku dan Jesus mencintai kalian',"
Sambil mengatakan hal itu, dia berusaha memberi mereka ikan, akan tetapi anggota suku Sentinel terus mendekat,
John pun menuturkan :
"Aku ketakutan, namun lebih banyak rasa kecewa karena mereka tidak menerimaku,"
Kemudian ia pun terombang-ambing di lautan karena tidak bisa mendekat bahkan ke bibir pantai.
Sebelumnya, John telah menyiapkan beberapa 'kado' untuk diberikan kepada mereka seperti gunting, peniti, alat memancing, dan bola.
Sayangnya, seperti yang ditulis John sebelum meninggal, justru suku Sentinel malah terlihat bingung bahkan sangat tidak ramah atas kehadirannya.
Salah satu pria Sentinel berteriak kepadanya, kemudian John mencoba meresponnya dengan menyanyikan lagu pujian, bahkan John mencoba berkomunikasi dengan bahasa Xhosa, bahasa tradisional yang diketahuinya saat berkunjung ke Afrika Selatan, namun respons yang mereka berikan tidak bisa diharapkan dan terkadang mereka malah menertawakan John.
Komunikasi malah menjadi semakin rumit setelahnya, bahkan ketika John berusaha memberikan ikan dan hadiah, seorang anak laki-laki Sentinel menembakkan anak panah ke alkitab yang dipegangnya.
Lalu John memaparkan :
"Aku mengambil panah yang merobek alkitab, dan panah itu terbuat dari logam, tipis tapi sangat tajam,"
Hingga dua hari kemudian, John hanya mampu bergerak maju dan mundur, dan terombang-ambing di dalam kayaknya hingga tak tahu apa yang harus dilakukan.
Lalu dia menitipkan surat kepada nelayan dan meminta mereka untuk mengirimkan surat tersebut ke keluarganya bilamana dia tidak bisa kembali dari Pulau Sentinel Utara.
Menurut keterangan dari para nelayan, pada 16 November, John meyakinkan mereka bahwa dia akan baik-baik saja di pulau tersebut.
Kemudian John meminta para nelayan untuk pergi, dan untuk pertama kalinya, nelayan membiarkan John sendiri di sekitar Pulau Sentinel Utara.
Hingga keesokan harinya, ketika para nelayan melintasi pulau, mereka melihat anggota suku Sentinel sudah menyeret tubuh John di sekitar pantai menggunakan tali.
Tak ada seorang pun yang tahu mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi, namun beberapa petugas kepolisian mengatakan bahwa mungkin suku Sentinel telah menembak John dengan panah.
Tubuh John masih berada di pulau tersebut, tapi polisi mengatakan bahwa mereka kesulitan untuk mengambil kembali mayat John karena takut nasib yang sama akan terjadi kepada mereka.
Setelah itu, pihak berwenang pun berpatroli di atas pulau dengan menggunakan helikopter, akan tetapi belum ada seorang pun yang menginjakkan kaki di daratan Pulau Sentinel Utara tersebut.
Sebelum ajal menjemputnya, John sempat memberikan pesan kepada orang tuanya, dengan tulisan tangan yang tampak semakin kacau, ia mengatakan :
"Tolong jangan marah kepada mereka (anggota suku Sentinel) ataupun kepada Tuhan jika aku terbunuh di sini. Aku cinta kalian semua."
Itulah kisah John, yang entah dengan tujuan apa dengan nekatnya mengunjungi Pulau Sentinel Utara yang pada akhirnya berakhir dengan tragis.
Tak ada yang tahu mengenai apa yang sebenarnya dilakukan John hingga membuat mereka marah, karena beberapa kisah di bawah ini menunjukkan bahwa suku Sentinel tidak akan marah tanpa sebab.
Suku Sentinel ternyata bisa bersahabat
Madhumala Chattopadhyay, seorang antropolog perempuan yang berhasil menjalin kontak dengan suku Sentinel bersama tim Antropolognya yaitu Anthropological Survey of India (AnSI), yang mana dia merupakan satu satunya anggota perempuan dalam tim itu.
Dia memiliki keinginan untuk mempelajari suku-suku pedalaman di Kepulauan Andaman dan Nikobar sejak masih anak-anak.
Setelah dewasa, antropolog ini kemudian menghabiskan waktu selama enam tahun untuk meneliti serta mempublikasikan 20 karya ilmiah tentang mereka.
Tak cuma itu, Chattopadhyay juga membuat buku berjudul Tribes of Car Nicobar.
Chattopadhyay akhirnya mendapat kesempatan pertamanya untuk bergabung dengan tim yang akan mengunjungi Pulau Sentinel Utara.
Walaupun saat itu terdapat sedikit halangan karena wanita diragukan untuk terlibat dalam ekspedisi suku pedalaman yang 'tidak ramah' atau berbahaya.
Tapi pada akhirnya Chattopadhyay diizinkan untuk berkunjung ke Pulau Sentinel Utara berkat usaha kerasnya, dan dia pun menjadi antropolog wanita pertama yang pernah berhasil melakukan kontak dengan suku Sentinel.
Saat diwawancarai oleh National Geographic, Chattopadhyay menuturkan :
"Kami semua sedikit gelisah selama ekspedisi, karena tim yang dikirim oleh pemerintah sebelumnya, mendapat sambutan yang tidak baik seperti biasanya,"
Saat itu, tim Chattopadhyay mencapai pulau menggunakan perahu kecil, namun mengalami kesulitan untuk berlabuh, sementara itu, beberapa anggota dari suku Sentinel sudah berada di pinggir pantai dengan membawa busur dan panah.
Chattopadhyay bercerita :
"Kami mulai mengapungkan buah kelapa ke arah mereka. Lalu secara mengejutkan, anggota suku Sentinel menginjakkan kaki ke air untuk mengambil kelapa tersebut,"
Sekitar dua atau tiga jam selanjutnya, pria-pria Sentinel berulang kali masuk ke dalam air untuk mengumpulkan kelapa yang dianggap sebagai sesuatu yang baru karena buah kelapa tidak ada di pulau mereka, sementara itu para wanita dan anak-anak menonton dari kejauhan.
Meskipun mereka mau menerima kelapa yang diberikan para antropolog, tapi Chattopadhyay mengatakan bahwa ancaman serangan masih terasa.
Chattopadhyay mengatakan :
"Pria muda yang berusia sekitar 19 atau 20 tahun berdiri bersama perempuan di pantai dan tiba-tiba ia mulai mengangkat busurnya. Saya berusaha keras memanggilnya menggunakan bahasa suku lain yang pernah saya pelajari di wilayah lain agar ia mau mengambil kelapa. Kemudian, wanita di sebelahnya memintanya mengambil kelapa dan ia pun kemudian melakukannya,"
Dia menambahkan :
"Tak lama kemudian, beberapa anggota suku datang menghampiri dan menyentuh perahu. Gerakan yang kami rasakan menunjukkan bahwa mereka tak takut lagi terhadap kami,"
Tim ANSI pun kemudian berhasil mencapai bibir pantai walaupun anggota suku tidak mengajak para antropolog ke tempat tinggalnya.
Pada pertemuan selanjutnya sepuluh bulan kemudian, Chattopadhyay datang kembali ke Pulau Sentinel Utara bersama timnya.
"Kali ini, anggota dari tim kami lebih besar karena pemerintah ingin orang-orang Sentinel lebih familiar dengan para peneliti. Kemudian, mereka melihat kami mendekat dan mendatangi kami tanpa senjata." ujarnya.
Merasa tidak puas dengan mengumpulkan kelapa satu per satu, kali ini suku Sentinel naik ke perahu untuk mengambil sekarung buah sekaligus, bahkan mereka berusaha membawa senapan milik polisi, karena mengira itu adalah sepotong logam.
Akan tetapi, keakraban itu berubah ketika salah satu peneliti mencoba mengambil hiasan dari daun yang dikenakan oleh anggota suku, pria tersebut pun kemudian marah dan mengeluarkan pisaunya.
"Ia memberikan gestur mengusir dan kami pun segera pergi," tutur Chattopadhyay.
Perjalanannya yang ketiga ke Pulau Sentinel Utara dirusak oleh cuaca buruk, karena saat tiba di pantai, mereka mendapati tidak ada satu orang pun di sana, sehingga tim antropolog pun kembali dengan tangan kosong.
Sejak saat itu, Chattopadhyay belum memiliki kesempatan lagi untuk kembali berkunjung ke pulau yang terisolasi tersebut.
Pemerintah India pada akhirnya memutuskan untuk mengurangi frekuensi kunjungan ke Pulau Sentinel Utara untuk melindungi suku Sentinel dari paparan penyakit yang disebabkan oleh kontak dengan orang luar.
Lagipula, Chattopadhyay mengaku tidak tertarik untuk kembali lagi ke sana.
"Suku Sentinel telah hidup berabad-abad di pulau itu tanpa masalah. Masalah mereka justru muncul setelah melakukan kontak dengan orang luar. Suku ini tidak perlu kita untuk melindungi mereka. Yang mereka butuhkan adalah dibiarkan hidup tenang tanpa diganggu," pungkas Chattopadhyay.
Pada kisah yang dituturkan oleh seorang antropolog di atas, dapat disimpulkan bahwa suku Sentinel mungkin sebenarnya tidak sebahaya itu, tapi mereka merasa terganggu oleh orang luar yang memiliki sikap yang bertentangan dengan mereka.
Adapun mereka berprasangka buruk terhadap orang luar mungkin dikarenakan telah terjadi kekerasan terhadap mereka pada masa-masa sebelumnya yang dilakukan oleh orang luar seperti fakta berikut ini.
Pada 1880, penjajah Inggris menculik enam anggota suku Sentinel yang mana dua di antaranya langsung meninggal akibat kontak dengan penyakit yang mereka tidak kebal.
Kemudian pada 1960-an, peneliti dari India memimpin ekspedisi ke pulau tersebut, saat itu, suku Sentinel diketahui menyerang beberapa jurnalis.
Sehingga sejak saat itu, kunjungan ke Pulau Sentinel Utara hanya boleh dilakukan untuk misi penyelamatan, misalnya, pemerintah India pernah menerbangkan helikopter ke sana setelah tsunami 2004 walaupun helikopter tersebut malah mendapat serangan panah dari anggota suku.
Lalu pada 2006, penjaga pantai India mengunjungi Pulau Sentinel Utara untuk membawa mayat dua nelayan yang tewas di sana.
Pemerintah India yang memproklamasikan Pulau Sentinel Utara sebagai bagian dari Republik India pada 1970, kemudian mengesahkan hukum yang melarang penyebaran foto atau video anggota suku Sentinel di media sosial.
Tapi sayangnya, perlindungan tersebut telah dikurangi setelah Perdana Menteri Narendra Modi menghapus persyaratan untuk mengunjungi 29 area terbatas di Kepulauan Andaman, termasuk Pulau Sentinel Utara tempat suku Sentinel tinggal yang artinya, para turis bisa dengan bebas mengunjungi pulau tersebut.
Dengan begitu, maka populasi mereka benar-benar terancam punah karena setelah sebelumnya dilakukan sensus melalui perkiraan yang dihitung dari udara menggunakan helikopter, mereka hanya tersisa sekitar 40 dari sebelumnya yang berkisar antara 150 hingga 200 orang.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar