Google, Facebook, WhatsApp terancam diblokir, apakah ada untungnya?
Satu hari lagi, tepatnya tanggal 20 Juli 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) berencana memblokir perusahaan-perusahaan teknologi besar termasuk Google, Meta (Facebook, WhatsApp, Instagram), Twitter dan lainnya jika tidak memenuhi keinginan pemerintah.
Ya, kita boleh mengatakan "tidak memenuhi keinginan" walaupun yang mereka katakan adalah perusahaan-perusahaan tersebut tidak mematuhi peraturan.
Ini tentu saja ironis mengingat masyarakat sebagai pengguna dari teknologi tersebut tidak pernah meminta pemblokiran atau jika pun ada, mungkin jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan yang meminta. Untuk itu, alasan pemblokiran pantas disebut sebagai "tidak memenuhi keinginan pemerintah" karena yang menginginkan adalah pemerintah atau pihak-pihak yang mengusulkan.
Alasan Google, Meta dan lainnya terancam diblokir menurut Kemkominfo
Kemkominfo mengeluarkan aturan yang mewajibkan perusahaan teknologi raksasa yang beroperasi di Indonesia harus mendaftar sebagai perusahaan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang batas waktu pendaftarannya akan berakhir pada 20 Juli 2022.
Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Dalam regulasi itu disebutkan bahwa PSE Lingkup Privat yang diatur dalam Peraturan Menteri ini wajib melakukan pendaftaran paling lambat 6 (enam) bulan sejak pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui sistem OSS berlaku efektif. Jika setelah tanggal tersebut maka Kominfo akan memberikan mulai dari teguran sampai sanksi terberat yaitu pemutusan akses.
Peraturan yang dibuat cukup kontroversial karena selain tidak melibatkan pendapat masyarakat juga berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah itu sendiri terutama untuk kepentingan politik bahkan melanggar kebebasan berekspresi di dunia digital.
Hal yang sama diutarakan oleh SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Exprssion Network/Jaringan kebebasan berekspresi Asia Tenggara) yang menolak diberlakukannya peraturan pemerintah ini. Dan berikut ini adalah poin-poin penting mengenai alasan tidak seharusnya peraturan ini berlaku yang dirangkum dari SAFEnet.
Pada peraturan tersebut, terdapat hal-hal yang berpotensi sebagai pelanggaran HAM dan kebebasan berinternet, antara lain:
Pemerintah ingin agar pemilik platform tidak mencantumkan informasi-informasi yang sifatnya "dilarang", maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya "dilarang".
Lebih jauh lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat 'dilarang" merupakan data yang digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Kementerian atau Lembaga, Aparat Penegak Hukum; dan/atau lembaga peradilan dapat meminta penghapusan konten dan pemutusan akses secara mendesak terkait informasi yang dilarang termasuk terorisme, pornografi anak, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Perusahaan teknologi harus menyerahkan data/informasi pengguna bahkan data percakapan pribadi kepada aparat penegak hukum apabila diminta.
Ketiga poin di atas akan sangat berpengaruh terhadap orang-orang yang menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pihak berwenang karena kata "meresahkan masyarakat" dan "mengganggu ketertiban umum" memiliki arti yang luas dan bersifat relatif sehingga hal ini dikhawatirkan bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membenarkan tindakan mereka atau bahkan untuk tujuan politik.
Sedangkan poin ketiga di atas cukup bermasalah untuk seluruh pengguna internet khususnya media sosial karena jika pengguna dianggap melakukan hal yang dilarang maka pihak berwenang akan meminta data diri dan informasi pribadi serta riwayat percakapan pengguna ke perusahaan teknologi yang menaungi, entah itu Meta (Facebook, WhatsApp, Instagram) maupun Twitter dan lain-lain. Dan ini tentu saja melanggar privasi pengguna karena bukan seperti itu cara kerja pengumpulan data dan privasi internet.
Bagaimana tanggapan perusahaan teknologi yang terancam
Google melalui perwakilannya di Indonesia, beberapa waktu sebelumnya mengatakan bahwa Google akan selalu mematuhi peraturan di Indonesia namun hingga saat ini belum ada lagi komentar terbaru baik dari perwakilan maupun pusat.
Sementara itu, Meta, Twitter dan lainnya tak satupun yang menanggapi hal ini padahal tenggat waktu sudah hampir habis yaitu satu hari lagi
Apabila Kemkominfo benar-benar memblokir perusahaan-perusahaan tersebut maka tentunya kita yang tidak tahu apa-apa terkena imbasnya. Kita tidak akan bisa lagi mengakses mereka, Google, Facebook, WhatsApp, Twitter dan beberapa sosial media lainnya di mana hal ini sudah terlebih dahulu berlaku pada Reddit.
Bahkan kalian juga tidak akan bisa mengakses blog ini karena dihost di Blogger milik Google. Selain itu, penghasilan blog ini juga terancam karena blog aLeziana mendapat penghasilan dari Adsense milik Google.
Lalu apa untungnya memblokir perusahaan-perusahaan teknologi tersebut, baik bagi masyarakat maupun pemerintah? Jelas tidak ada. Sebagai gantinya justru kita akan miskin informasi, bahkan akan terdapat banyak orang yang terputus rezekinya karena penghasilan mereka didapat dari Google, Facebook, Instagram dan lain-lain.
Petisi menolak pemberlakuan peraturan
Agar tidak terjadi pemblokiran maka peraturan Kemkominfo harus ditolak atau setidaknya diubah oleh kita. untuk itu SAFEnet mengadakan petisi yang menolak diberlakukannya peraturan ini. Dan bagi kalian yang ingin bergabung untuk memprotes maka kalian bisa mengisi formulirnya di situs SAFEnet di sini: Petisi SAFEnet menolak peraturan Permenkominfo 5/2020.
Sumber kutipan: SAFEnet
© aLeziana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar